BOGOR, KOMPAS
- Masyarakat yang tinggal di kota metropolitan, Jakarta dan sekitarnya,
sangat rentan terkena gangguan saraf pusat yang umumnya menimbulkan
kelumpuhan atau biasa disebut stroke. Hal ini disebabkan gaya hidup yang
tidak sehat, seperti makan tidak teratur. Tekanan pekerjaan dan
kemacetan lalu lintas semakin meningkatkan risiko stroke. Ketua Bidang
Organisasi Yayasan Stroke Indonesia Farida A Djalil dan Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia Lyna Soertidewi menyampaikan
hal itu di sela-sela peluncuran buku Stroke Bukan Akhir Segalanya di
Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu (3/4). ”Anak-anak muda, yang menginginkan
karier maju, memaksakan diri, kurang istirahat, mendapat tekanan
pekerjaan, lalu menghadapi kemacetan kota. Hidupnya tidak teratur. Belum
lagi yang memiliki kebiasaan ke kelab, lalu minum alkohol,” tutur
Farida. Pola hidup seperti itu meningkatkan risiko warga metropolitan
terkena stroke. Dicontohkan, ada salah satu rumah sakit di Jakarta, yang
beberapa tahun lalu biasa menerima 10-20 pasien stroke per hari, kini
bisa menerima 60 pasien per hari. ”Waktu sempit di tengah tekanan
pekerjaan juga membuat orang di kota besar memilih makanan junk food
(makanan tidak sehat) atau membuat makanan instan dengan natrium tinggi
sehingga memicu tekanan darah tinggi,” tutur Lyna.
Jakarta tertinggi di Jawa
Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar Nasional 2007, menurut Lyna, 800 dari 100.000
orang per tahun terkena stroke. DKI Jakarta diketahui memiliki
prevalensi tertinggi di Pulau Jawa, yaitu 12,5 persen. Sementara itu,
rata-rata prevalensi nasional 8,3 persen. Angka ini juga terus
meningkat. Jika sebelumnya stroke menyerang usia di atas 60 tahun, kini
banyak orang berusia 40 tahun terkena stroke. Hal ini akan menyulitkan
banyak keluarga di kota besar karena biasanya yang terkena stroke
menjadi tulang punggung keluarga. Karena itu, Dewi Pandji, penulis buku
Stroke Bukan Akhir Segalanya, mengingatkan semua keluarga untuk
memerhatikan gejala- gejala stroke. ”Penting bagi keluarga terdekat
untuk mengetahui gejala dan bagaimana mengantisipasinya maupun
penanganan pasca-terkena stroke,” tuturnya. Terpenting, keluarga
terdekat juga harus mengerti penanganan periode emas penderita, yaitu
3-6 jam setelah serangan stroke, untuk meminimalkan dampak kerusakan di
otak. Keluarga juga harus membantu penderita stroke menghadapi fase
kritis pasca-serangan. ”Biasanya ada perubahan sikap dan perilaku, yaitu
menjadi menarik diri. Keluarga harus memotivasi agar penderita tetap
bisa menjalani kehidupan dengan optimistis,” katanya. (GAL)
No comments:
Post a Comment